Bidik Kalsel,
Selain adanya perbedaan pemungutan tarif pajak, juga adanya tebang pilih yang diberlakukan oleh Dinas Pendapatan Kotabaru dikeluhkan oleh para pedagang makanan.
Keterangan yang didapat oleh kru media dilapangan meenunjukan adanya kesenjangan dan ketidak-adilan dalam hal pemungutan pajak warung tersebut.
Salah satu pedagang coto makasar, Edi mengungkapkan dirinya pernah ditagih pembayaran pajak oleh orang yang berseragam PNS, namun anehnya yang datang menagih orang yang berbeda dan besaran pembayarannya pun juga tak sama.
"Saya pernah ditagih beberapa orang berseragam PNS Kotabaru, dan disuruh bayar Rp 20 ribu perbulannya. Beberapa bulan kemudian, saya ditagih lagi sebesar Rp 100 ribu perbulan, dan beberapa bulannya lagi, petugas pemungut pajak itu menghitung dan menaikan lagi uang pungutan menjadi Rp 1,5 juta perbulan," keluh Edi.
Menurut Edi, dikenakannya tarif pajak sebesar Rp 1,5 juta tersebut berdasarkan hitungan tiap mangkok coto makasar dikenakan Rp 1.000 permangkoknya dikalikan 50 mangkok tiap harinya.
"Satu mangkok dikenakan pajak Rp 1.000, dikalikan 50 mangkok, maka saya harus membayar pajak Rp 50 ribu perharinya," ujar Edi.
Ditambahkannya, jika aturannya jelas dan jumlahnya sesuai, saya siap membayar pajak, karena pajak merupakan kewajiban setiap warga negara untuk turut serta dalam pembangunan.
"Saya sempat mencurigai adanya indikasi kurang beres dalam pelaksanaan pungutan pajak warung, karena jumlah pajak yang harus dibayar berubah-ubah. Sampai sekarang petugas pemungut pajak itu tidak datang lagi ke warung saya," ungkapnya.
Hal yang berbeda dikatakan oleh Sukat, pedagang sea food samping Masjid Raya Khusnul Khotimah.Dirinya mengaku tidak pernah dikenakan pungutan pajak dari Dinas Pendapatan Kotabaru.
"Selama saya jualan disini,tidak pernah dipungut pajak warung sepeser pun. Saya cuma bayar tempat ke Dinas Perhubungan dan ke Desa Sebatung," ungkapnya.
Lain lagi yang dialami oleh Dedit, pedagang warung bakso Sari Rasa samping RSUD Kotabaru.
Menurutnya, warung disebelahnya dikenakan tarif cuma Rp 150 ribu, sedangkan dirinya dikenakan Rp 400 ribu, padahal warungnya jauh lebih kecil dari RM Sridewi yang cuma dikenakan pajak sebesar Rp 600 ribu.
Dikonfirmasi Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Wilayah I Pulau Laut Utara, Rustam mengatakan," UPT Pendapatan sudah melaksanakan tugas memungut pajak warung, tapi ada yang tidak mau,hanya sebagian kecil saja warung makan yang bersedia membayar pajak sesuai PERDA dengan ketentuan 10%,"ungkapnya, Rabu (18/06/14).
Menurut Rustam, UPT Pendapatan tidak bisa memaksa, "seharusnya Dinas Pendapatan lah yang mensosialisasikan PERDA pajak pungutan restauran/warung tersebut. Kita bawahan hanya melaksanakan aturan saja," tambahnya.
Adanya perbedaan pungutan dilapangan memang diakui oleh Rustam, namun sayangnya dalam melaksanakannya masih terkendala karena belum bisa bertidak tegas menerapkan sesuai aturan.
Kepala Dinas Pendapatan Kotabaru H.Arosman,SE, Rabu (18/06/14), membenarkan tidak melaksanakan sosialisasi PERDA pajak Restauran/Warung itu karena tidak menganggarkannya pada tahun kemaren.
"Bulan ini kami akan melaksanakan sosialisasi, menjelaskan kepada pemilik warung,yang bayar pajak itu bukan pemilik warung tapi adalah pengunjung yang membeli," ucapnya.
Menurut Arosman, selama ini pemilik warung salah persepsi.Dikira mereka yang dikenakan pajak, padahal mereka hanya membantu memungutkan pajak apabila masyarakat makan diwarungnya.
"Karena mereka adalah pemilik warung dan bisnis disini, jadi wajar saja mereka membantu dalam pemungutan pajak," ungkapnya.
Terkait adanya perbedaan tarif pungutan antara warung yang satu dengan warung yang lain.
Arosman berkilah, pungutan tergantung dari ramainya dan banyaknya pengunjung yang makan.
"Memang ada perbedaan jumlah tarif pajak, dengan asumsi berapa banyak masyarakat makan diwarung yang bersangkutan,"pungkasnya. (Wan/MIZ)
Selain adanya perbedaan pemungutan tarif pajak, juga adanya tebang pilih yang diberlakukan oleh Dinas Pendapatan Kotabaru dikeluhkan oleh para pedagang makanan.
Keterangan yang didapat oleh kru media dilapangan meenunjukan adanya kesenjangan dan ketidak-adilan dalam hal pemungutan pajak warung tersebut.
Salah satu pedagang coto makasar, Edi mengungkapkan dirinya pernah ditagih pembayaran pajak oleh orang yang berseragam PNS, namun anehnya yang datang menagih orang yang berbeda dan besaran pembayarannya pun juga tak sama.
"Saya pernah ditagih beberapa orang berseragam PNS Kotabaru, dan disuruh bayar Rp 20 ribu perbulannya. Beberapa bulan kemudian, saya ditagih lagi sebesar Rp 100 ribu perbulan, dan beberapa bulannya lagi, petugas pemungut pajak itu menghitung dan menaikan lagi uang pungutan menjadi Rp 1,5 juta perbulan," keluh Edi.
Menurut Edi, dikenakannya tarif pajak sebesar Rp 1,5 juta tersebut berdasarkan hitungan tiap mangkok coto makasar dikenakan Rp 1.000 permangkoknya dikalikan 50 mangkok tiap harinya.
"Satu mangkok dikenakan pajak Rp 1.000, dikalikan 50 mangkok, maka saya harus membayar pajak Rp 50 ribu perharinya," ujar Edi.
Ditambahkannya, jika aturannya jelas dan jumlahnya sesuai, saya siap membayar pajak, karena pajak merupakan kewajiban setiap warga negara untuk turut serta dalam pembangunan.
"Saya sempat mencurigai adanya indikasi kurang beres dalam pelaksanaan pungutan pajak warung, karena jumlah pajak yang harus dibayar berubah-ubah. Sampai sekarang petugas pemungut pajak itu tidak datang lagi ke warung saya," ungkapnya.
Hal yang berbeda dikatakan oleh Sukat, pedagang sea food samping Masjid Raya Khusnul Khotimah.Dirinya mengaku tidak pernah dikenakan pungutan pajak dari Dinas Pendapatan Kotabaru.
"Selama saya jualan disini,tidak pernah dipungut pajak warung sepeser pun. Saya cuma bayar tempat ke Dinas Perhubungan dan ke Desa Sebatung," ungkapnya.
Lain lagi yang dialami oleh Dedit, pedagang warung bakso Sari Rasa samping RSUD Kotabaru.
Menurutnya, warung disebelahnya dikenakan tarif cuma Rp 150 ribu, sedangkan dirinya dikenakan Rp 400 ribu, padahal warungnya jauh lebih kecil dari RM Sridewi yang cuma dikenakan pajak sebesar Rp 600 ribu.
Dikonfirmasi Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT) Wilayah I Pulau Laut Utara, Rustam mengatakan," UPT Pendapatan sudah melaksanakan tugas memungut pajak warung, tapi ada yang tidak mau,hanya sebagian kecil saja warung makan yang bersedia membayar pajak sesuai PERDA dengan ketentuan 10%,"ungkapnya, Rabu (18/06/14).
Menurut Rustam, UPT Pendapatan tidak bisa memaksa, "seharusnya Dinas Pendapatan lah yang mensosialisasikan PERDA pajak pungutan restauran/warung tersebut. Kita bawahan hanya melaksanakan aturan saja," tambahnya.
Adanya perbedaan pungutan dilapangan memang diakui oleh Rustam, namun sayangnya dalam melaksanakannya masih terkendala karena belum bisa bertidak tegas menerapkan sesuai aturan.
Kepala Dinas Pendapatan Kotabaru H.Arosman,SE, Rabu (18/06/14), membenarkan tidak melaksanakan sosialisasi PERDA pajak Restauran/Warung itu karena tidak menganggarkannya pada tahun kemaren.
"Bulan ini kami akan melaksanakan sosialisasi, menjelaskan kepada pemilik warung,yang bayar pajak itu bukan pemilik warung tapi adalah pengunjung yang membeli," ucapnya.
Menurut Arosman, selama ini pemilik warung salah persepsi.Dikira mereka yang dikenakan pajak, padahal mereka hanya membantu memungutkan pajak apabila masyarakat makan diwarungnya.
"Karena mereka adalah pemilik warung dan bisnis disini, jadi wajar saja mereka membantu dalam pemungutan pajak," ungkapnya.
Terkait adanya perbedaan tarif pungutan antara warung yang satu dengan warung yang lain.
Arosman berkilah, pungutan tergantung dari ramainya dan banyaknya pengunjung yang makan.
"Memang ada perbedaan jumlah tarif pajak, dengan asumsi berapa banyak masyarakat makan diwarung yang bersangkutan,"pungkasnya. (Wan/MIZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silakan berkomentar tapi jangan bernuansa SARA.